Setangkai Sajak Rindu untuk Wakatobi
Meski urakan begini, saya adalah orang yang menyukai seni. Saya senang mendengarkan versi accoustic lagu Bed Of Roses nya Bon Jovi, seperti halnya saya juga cengkok-cengkok lagu dangdut melayu.
Tentang puisi, ia adalah seni sastra yang selalu punya tempat sendiri dalam hati saya.Jika saya menyukai sebuah puisi, saya tidak akan keberatan membacanya berulang-ulang.
Di tahun 2018, saya membaca sebuah puisi di sebuah situs blog. Nama blognya Kelong Pajaga. Penulis puisi ini sepertinya adalah seorang perantau dari Wakatobi yang berada di Makassar. Ia mengisahkan seberat apa kerinduan kepada kampung halamannya melalui sebuah puisi yang keren.
Saya bukan orang Wakatobi, dan belum pernah sekalipun ke Wakatobi. Tapi saya juga punya kampung halaman. Setiap saya membaca puisi ini, kerinduan kepada kampung halaman saya levelnya menjadi berlipat-lipat.
Sayangnya blog Kelong Pajaga tersebut kini sudah dihapus oleh otoritas Google. Mungkin karena sudah tidak aktif dalam waktu lama.
Anda mungkin tidak bisa lagi menemukan puisi ini dimanapun. Untuk itu saya ingin menulis kembali puisi tersebut di blog saya ini.
Setangkai sajak rindu untuk Wakatobi
Pada mata air bambu
Ibuku mencuci tubuhku dengan segayung cinta
Meminumkan air Pulau Hoga dengan telapaknya
Memberiku sepotong ikan katamba, sepiring pangngaro dan rumput laut
Menumbuk tulang kokoh dalam rangka tubuhku
Sang lelaki penuh etos dan pantang meminta
Namun dalam jiwanya tertanam sutera selembut salju untuk kehidupan
Walau kini diatas tanah jauh berbatas laut
Memisahkan raga dengan Wakatobi
Tiada dapat semua aroma laut dan kopra dapat terhapus
Sebab kemarin, pada matahari pagi di Laut Langge
Telah kutanam setangkai cinta berdaun rindu
Yang tetap gemuruh walau musim berganti-ganti
Disini, di tanah Bugis-Makassar
Di Pulau Laelae dan Baranglompo,
Aku terkenang Wanci, Wangi-wangi, Wakatobi
Di Dermaga Parepare
Rindu memuncak ke Dermaga Murhum tanah Buton
Di Pulau Samalona
Tunduk rinduku aroma Pulau Talaga
Di Benteng Rotterdam
Aku terlempar jauh ke benteng keraton kesultanan Buton
Tebing Bantimurung mengingatkanku pada Tebing Pasarwajo
Dan kupu-kupunya mengenangkanku pada gadis-gadis Wakatobi yang cantik jelita
Di tanah Bugis-Makassar
Aku tengadah pada langit, berteriak, walau tak menghunus Soka si penangkal rasa malu
Aku rindu makan kue kaeasi dan menarikan Tari Lareangi di senja hari
Pinjamkan aku Phinisi-mu,
Aku ingin pulang memetik bunga-bunga rindu yang kutanam di tanah Wakatobi
Ibuuu, tunggu aku di dermaga Jembatan Batu
Makassar, 17 Februari 2018
* * *
Saya menulis ulang puisi ini sambil membayangkan suasana hati sang pembuat puisi saat merangkai kata-kata puisi ini. Rindunya tentu amat mendalam. Saya berharap ia paham bahwa ia telah membuat sebuah karya sastra yang istimewa, setidaknya bagi diri saya.
Suatu saat jika ia membaca kembali puisinya ini, semoga ia berkenan menghubungi saya, agar saya dengan senang hati dapat bersilaturahim dan menuliskan namanya sebagai penulis puisi ini.