Fachrul Hidayat: Puisi
News Update
Loading...
Showing posts with label Puisi. Show all posts
Showing posts with label Puisi. Show all posts

Saturday, 12 June 2021

Setangkai Sajak Rindu untuk Wakatobi

 

Meski urakan begini, saya adalah orang yang menyukai seni. Saya senang mendengarkan versi accoustic lagu Bed Of Roses nya Bon Jovi, seperti halnya saya juga cengkok-cengkok lagu dangdut melayu.

Tentang puisi, ia adalah seni sastra yang selalu punya tempat sendiri dalam hati saya.Jika saya menyukai sebuah puisi, saya tidak akan keberatan membacanya berulang-ulang.

Di tahun 2018, saya membaca sebuah puisi di sebuah situs blog. Nama blognya Kelong Pajaga. Penulis puisi ini sepertinya adalah seorang perantau dari Wakatobi yang berada di Makassar. Ia mengisahkan seberat apa kerinduan kepada kampung halamannya melalui sebuah puisi yang keren.

Saya bukan orang Wakatobi, dan belum pernah sekalipun ke Wakatobi. Tapi saya juga punya kampung halaman. Setiap saya membaca puisi ini, kerinduan kepada kampung halaman saya levelnya menjadi berlipat-lipat.

Sayangnya blog Kelong Pajaga tersebut kini sudah dihapus oleh otoritas Google. Mungkin karena sudah tidak aktif dalam waktu lama. 

Anda mungkin tidak bisa lagi menemukan puisi ini dimanapun. Untuk itu saya ingin menulis kembali puisi tersebut di blog saya ini.


Setangkai sajak rindu untuk Wakatobi

Pada mata air bambu
Ibuku mencuci tubuhku dengan segayung cinta
Meminumkan air Pulau Hoga dengan telapaknya
Memberiku sepotong ikan katamba, sepiring pangngaro dan rumput laut
Menumbuk tulang kokoh dalam rangka tubuhku
Sang lelaki penuh etos dan pantang meminta
Namun dalam jiwanya tertanam sutera selembut salju untuk kehidupan

Walau kini diatas tanah jauh berbatas laut
Memisahkan raga dengan Wakatobi
Tiada dapat semua aroma laut dan kopra dapat terhapus
Sebab kemarin, pada matahari pagi di Laut Langge
Telah kutanam setangkai cinta berdaun rindu
Yang tetap gemuruh walau musim berganti-ganti

Disini, di tanah Bugis-Makassar
Di Pulau Laelae dan Baranglompo,
Aku terkenang Wanci, Wangi-wangi, Wakatobi
Di Dermaga Parepare
Rindu memuncak ke Dermaga Murhum tanah Buton
Di Pulau Samalona
Tunduk rinduku aroma Pulau Talaga
Di Benteng Rotterdam
Aku terlempar jauh ke benteng keraton kesultanan Buton
Tebing Bantimurung mengingatkanku pada Tebing Pasarwajo
Dan kupu-kupunya mengenangkanku pada gadis-gadis Wakatobi yang cantik jelita

Di tanah Bugis-Makassar
Aku tengadah pada langit, berteriak, walau tak menghunus Soka si penangkal rasa malu
Aku rindu makan kue kaeasi dan menarikan Tari Lareangi di senja hari

Pinjamkan aku Phinisi-mu,
Aku ingin pulang memetik bunga-bunga rindu yang kutanam di tanah Wakatobi
Ibuuu, tunggu aku di dermaga Jembatan Batu

Makassar, 17 Februari 2018

* * *

Saya menulis ulang puisi ini sambil membayangkan suasana hati sang pembuat puisi saat merangkai kata-kata puisi ini. Rindunya tentu amat mendalam. Saya berharap ia paham bahwa ia telah membuat sebuah karya sastra yang istimewa, setidaknya bagi diri saya. 

Suatu saat jika ia membaca kembali puisinya ini, semoga ia berkenan menghubungi saya, agar saya dengan senang hati dapat bersilaturahim dan menuliskan namanya sebagai penulis puisi ini.

Sunday, 18 August 2019

Janji untuk Anakku


Anakku, Ayah berjanji padamu.
Di hari saat kau dilahirkan, kau tak hanya akan melihat ayahmu, ibumu, atau bidan. Tapi dari kakek nenekmu, paman bibimu, sepupu-sepupumu, semua keluargamu akan memenuhi rumah kita, menyambut kedatanganmu di dunia. Bahkan kabar akan tersebar begitu cepat, sampai penduduk sekampung akan bergantian datang menemuimu.

Anakku, Ayah berjanji padamu.
Hari akikahmu tak hanya akan dihadiri teman-teman kantor ayahmu, atau teman arisan ibumu. Sejak pagi hari tetangga-tetangga kita, keluargamu dari kampung sebelah, akan datang di rumah. Mereka akan memasang tenda yang luas di depan rumah. Itu karena sore harinya, hari sakralmu ini akan dipenuhi warga sekampung yang tentu tak muat hanya di ruang rumah kita.

Anakku, Ayah berjanji padamu.
Halaman rumah kita tak akan sempit berdempet-dempetan. Meskipun rumah kita sederhana dan terbuat dari kayu, halamannya akan luas untukmu berlari-lari sepuasnya. Tapi jangan petik-petik bunga di pot, nanti Ibumu bisa marah.

Anakku, Ayah berjanji padamu.
Beranjak besar kau tak akan bermain dengan gadget. Kau bahkan tak akan tau benda apa itu. Sungai di seberang kebun kakek selalu sejuk untukmu berenang setiap hari. Dulu Ayah juga main disitu. Kau bisa membangun benteng dari pasir, atau membuat perahu dari batang pisang.



Anakku, Ayah berjanji padamu.
Di sore hari kau tak akan bermain bola di lapangan sintetis buatan, yang dibatasi waktu sesuai bayaran sewa. Lapangan di kampung kita luasnya berlebihan. Kau dan teman-temanmu akan bermain disana sepuas-puasnya sepulang sekolah. Tapi ingatlah untuk pulang sebelum adzan magrib di Masjid. Jika tidak Ibumu akan menyusulmu membawa sapu lidi.

Anakku, Ayah berjanji padamu.
Tidak akan ada motor atau jemputan bus untukmu ke sekolah. Kau harus berjalan kaki bersama teman-temanmu. Pulang sekolah juga kau tak akan bisa mampir nongkrong di Mall. Pulang segera, kita harus ke sawah membantu nenek panen padi. Biar tulang kakimu kuat, otot pundakmu kokoh.

Anakku sayang, kebanggaan keluarga.
Sebelum kau siap nak, kampung Ralleanak ini akan manjagamu dari bejatnya dunia.

Friday, 27 March 2015

Gagal Paham




 Source: Istockphoto
 
Dulu waktu masih kuliah, BBM baru rencana dinaikkan saja, kau kawanku, sudah turun pimpin demonstrasi. 
Tak peduli kong-kalikong dibalik naiknya BBM.
Tidak ada urusan pemerintah butuh dana segar untuk pembangunan infrastruktur.
Tidak ada urusan pengalihan subsidi ini itu.
Tidak ada urusan penyesuaian harga minyak dunia.
Kau tak mau tahu.
Kata buku memang begitu, rakyat itu tak perlu tahu.
Toh tugas pemerintah itu ya bikin senang rakyat.
Buat apa punya pemerintah kalau hidup malah makin susah.

Pokoknya harga BBM naik, itu bikin susah kita, bikin susah orang tua kita dikampung, dan katamu bikin susah rakyat, maka kau demo.
Mau berhasil atau tidak itu urusan belakangan. Pecah dulu.
Itu ajakanmu padaku kala itu.
Kagum saya, meskipun jarang ikut.

Kini kita sama-sama bukan mahasiswa.
Kau jadi politikus, saya bekerja serabutan.
Bedanya kau sudah paham mengapa pemerintah harus menaikkan harga BBM.
Dan saya tetap tak paham.

Bogor, 28 Maret 2015
Hari ini BBM naik lagi.


Featured

[Featured][recentbylabel2]

Featured

[Featured][recentbylabel2]
Notification
Apa isi Blog ini? Catatan perjalanan, opini, dan esai ringan seputar Engineering.
Done