Dandhy Dwi Laksono. Saya sudah mengikuti orang ini sejak tahun 2014, meski hanya melalui sosial media. Ia orang biasa tapi tumbuh dengan pemikiran tak seperti orang kebanyakan.
Berbekal tabungan sendiri Dandhy berkeliling Indonesia dengan naik motor. Ia tampaknya begitu prihatin melihat sekat-sekat ketimpangan sosial yang terjadi di beberapa daerah. Ia lalu memberi tahu khalayak melalui film-film dokumenter yang ia buat bersama teman-temannya. Salah satu film dokumenter berjudul Film Sexy Killers yang ia rilis beberapa saat menjelang pilpres beberapa bulan lalu, tentang kepemilikan tambang di Indonesia yang ternyata dikuasai elit-elit politik, konon membuat banyak orang golput.
Dandhy punya dasar literasi yang kuat dan nyali yang besar, dua senjata yang jarang dimiliki aktivis masa kini. Ia pernah dilaporkan ke polisi karena tulisannya membandingkan Megawati dengan Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, saat ia mendampingi petani di Kendeng malawan penggusuran pabrik semen. Jika kalian mengikuti akun twitternya, sehari-hari isinya hanya tentang membela keadilan sosial, tak ada yang lain.
Dandhy getol mengkritisi langkah pemerintah dalam penanganan masalah di Papua, sampai ia terlibat 'tweetwar' dengan Budiman Sudjatmiko, aktivis yang kini menjadi politikus. Budiman menantang Dandhy untuk debat secara terbuka. Dandhy balas begini:
"Silahkan diatur, Bud. Lapaknya dimana, saya datang."
Debat Dandhy dan Budiman yang disiarkan di youtube beberapa hari yang lalu tersebut belakangan menjadi debat paling intelek yang pernah saya nonton. Dan tentu saja bagi saya, Dandhy yang lebih paham lapangan, unggul telak. Ia menyampaikan filosofi bernegara yang mendalam dengan data dan argumentasi yang renyah dan mudah dipahami.
Anak muda seperti Dandhy ini akan selalu menjadi mimpi buruk bagi penguasa.
Mungkin beberapa dari kita juga kadang geram dan iba melihat ketimpangan sosial dan diskriminasi yang menimpa orang-orang kecil, namun kita tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk menyampaikan protes saja tak berani. Maka Dandhy adalah suara yang lantang mewakili kita, dan ia tak mendapat imbalan apapun untuk itu.
Pagi tadi ada kabar tak bagus. Dandhy ditangkap polisi karena salah satu tulisannya yang dianggap melanggar UU. Siang ini kabarnya sudah dibebaskan lagi, namun jagat media sosial saya sudah terlanjur turun tangan membela Dandhy dengan hastag #BebaskanDandhy.
Saya belum tahu apa tepatnya, namun bagi saya penangkapan seperti ini tidak benar. Bukan hanya untuk Dandhy tapi untuk semua orang yang suka mengkritik. Penjara itu hanya untuk kriminal, bukan untuk orang yang berbeda pendapat.
Baca juga: Masih Adakah Presiden Jokowi?
Berbekal tabungan sendiri Dandhy berkeliling Indonesia dengan naik motor. Ia tampaknya begitu prihatin melihat sekat-sekat ketimpangan sosial yang terjadi di beberapa daerah. Ia lalu memberi tahu khalayak melalui film-film dokumenter yang ia buat bersama teman-temannya. Salah satu film dokumenter berjudul Film Sexy Killers yang ia rilis beberapa saat menjelang pilpres beberapa bulan lalu, tentang kepemilikan tambang di Indonesia yang ternyata dikuasai elit-elit politik, konon membuat banyak orang golput.
Dandhy punya dasar literasi yang kuat dan nyali yang besar, dua senjata yang jarang dimiliki aktivis masa kini. Ia pernah dilaporkan ke polisi karena tulisannya membandingkan Megawati dengan Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, saat ia mendampingi petani di Kendeng malawan penggusuran pabrik semen. Jika kalian mengikuti akun twitternya, sehari-hari isinya hanya tentang membela keadilan sosial, tak ada yang lain.
Dandhy getol mengkritisi langkah pemerintah dalam penanganan masalah di Papua, sampai ia terlibat 'tweetwar' dengan Budiman Sudjatmiko, aktivis yang kini menjadi politikus. Budiman menantang Dandhy untuk debat secara terbuka. Dandhy balas begini:
"Silahkan diatur, Bud. Lapaknya dimana, saya datang."
Debat Dandhy dan Budiman yang disiarkan di youtube beberapa hari yang lalu tersebut belakangan menjadi debat paling intelek yang pernah saya nonton. Dan tentu saja bagi saya, Dandhy yang lebih paham lapangan, unggul telak. Ia menyampaikan filosofi bernegara yang mendalam dengan data dan argumentasi yang renyah dan mudah dipahami.
Anak muda seperti Dandhy ini akan selalu menjadi mimpi buruk bagi penguasa.
Mungkin beberapa dari kita juga kadang geram dan iba melihat ketimpangan sosial dan diskriminasi yang menimpa orang-orang kecil, namun kita tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk menyampaikan protes saja tak berani. Maka Dandhy adalah suara yang lantang mewakili kita, dan ia tak mendapat imbalan apapun untuk itu.
Pagi tadi ada kabar tak bagus. Dandhy ditangkap polisi karena salah satu tulisannya yang dianggap melanggar UU. Siang ini kabarnya sudah dibebaskan lagi, namun jagat media sosial saya sudah terlanjur turun tangan membela Dandhy dengan hastag #BebaskanDandhy.
Saya belum tahu apa tepatnya, namun bagi saya penangkapan seperti ini tidak benar. Bukan hanya untuk Dandhy tapi untuk semua orang yang suka mengkritik. Penjara itu hanya untuk kriminal, bukan untuk orang yang berbeda pendapat.
Baca juga: Masih Adakah Presiden Jokowi?