Sore ini, 11 September 2019, Indonesia berduka. Bapak Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie, menghembuskan nafas terakhir pada pukul 18.03 WIB, di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Saya mengagumi Bapak Habibie bukan hanya karena beliau adalah presiden yang menyelamatkan bangsa dari krisis demokrasi tahun 1998, melainkan karena bagi saya, beliau adalah Insinyur paling hebat yang pernah dilahirkan dalam sejarah Republik Indonesia.
Pernahkah anda mendengar Hukum Newton? Pernah dengar Persamaan Bernoulli? Atau Hukum Archimedes? Pasti anda yang pernah belajar di bangku sekolah, setidaknya tak begitu asing dengan istilah yang ditemukan oleh para ilmuwan dunia diatas. Namun apakah anda pernah mendengar Habibie Factor?
Problematika Penerbangan Dunia
Pernahkah anda memperhatikan sayap pesawat saat sedang mengudara? Sepintas sayap tersebut terlihat padat dan mulus.
Tapi, apakah anda tahu kalau bagian dalam dari struktur rangka sayap pesawat ini berongga-rongga?
Struktur rangka pesawat berada pada bagian dalam yang tertutup rapat. Bagian inilah yang menahan beban tekanan yang sangat besar dan terus-menerus selama penerbangan.
Pernahkah anda perhatikan saat sedang terbang dalam cuaca buruk dan terjadi turbulensi, sayap pesawat ini sampai berayun-ayun?
Dalam ilmu teknik, dikenal istilah fatigue, alias kelelahan material. Fatigue adalah melemahnya kekuatan suatu material yang disebabkan oleh beban terus-menerus yang diterima oleh material tersebut.
Baca juga: Engineering Adalah
Pada kasus rangka pesawat tadi, peristiwa fatigue ini adalah permasalahan yang pelik. Titik yang rawan fatigue pada sebuah pesawat adalah pada sambungan antara sayap dan badan pesawat, atau antara sayap dan dudukan mesin, karena bagian inilah yang mengalami guncangan paling keras terutama saat pesawat lepas landas, turbulensi, atau saat mendarat. Saat fatigue terjadi, ia memicu munculnya crack atau retakan pada material struktur rangka sayap.
Crack biasanya bermula pada ukuran 5 mikrometer. Sangat kecil, tapi terus merambat. Semakin hari kian memanjang dan bercabang-cabang pada material. Kalau crack ini tidak terdeteksi, taruhannya mahal. Sayap pesawat bisa patah kapan saja.
Pada tahun 1960-an permasalahan fatigue sangat sulit dideteksi. Belum ada pemindai sensor laser yang didukung teknologi komputer untuk menentukan titik crack. Puluhan tahun masalah ini terus menghantui dunia penerbangan. Bagaimana tidak, mereka tidak pernah tahu apakah sudah ada kerusakan pada struktur pesawat atau tidak. Akibatnya, pada masa itu kecelakaan pesawat cukup sering terjadi.
Dunia Mencari Solusi
Para Insinyur penerbangan terus mencari jalan keluar. Mereka mencoba mengatasi masalah crack ini dengan meningkatkan safety factor.
Bagaimana caranya meningkatkan safety factor?
Dalam ilmu teknik, safety factor adalah faktor tambahan dalam suatu hitungan perencanaan dengan tujuan untuk menambah kemanan dari perencanaan tersebut. Nah, cara yang dipakai para Insinyur penerbangan saat itu adalah meningkatkan safety factor ini sehingga bobot konstruksi struktur rangka pesawat menjadi sangat jauh melebihi kebutuhan.
Konsekuensinya, akibat konstruksi struktur bertambah, otomatis membuat pesawat jadi jauh lebih berat. Kalau pesawat lebih berat tentu saja akan lebih lambat, susah bermanuver, dan menjadi lebih banyak mengkonsumsi bahan bakar.
Tentu akan sangat merepotkan.
Pada masa itu para Insinyur penerbangan di seluruh dunia dalam keadaan deadlock, tidak punya solusi. Masalah ini begitu sulit diselesaikan.
Baca juga: Mengapa Mahasiswa Teknik Harus Menonton Film 3 Idiots?
Insinyur Habibie
Pada masa tanpa solusi saat itu, Habibie, seorang Insinyur dari Indonesia, hadir membawa jalan keluar. Di usianya yang saat itu baru menginjak 32 tahun, beliau berhasil menjabarkan sebuah perhitungan yang sangat akurat dan detail untuk mendeteksi letak titik awal crack pada material struktur rangka pesawat.
Dunia terbelalak. Ini adalah penemuan yang besar dalam dunia penerbangan.
Dengan perhitungan dari Habibie, perencanaan struktur rangka sayap pesawat menjadi jauh lebih meyakinkan. Selain itu, berat pesawat dapat berkurang hingga 10% sehingga biaya produksi lebih ekonomis, pesawat lebih mudah bermanuver, hemat bahan bakar, dan menjadi mudah dalam perawatan.
Perhitungan Habibie ini dikenal dengan Crack Propagation Theory dan menjadi lebih populer di dunia penerbangan dengan istilah Habibie Factor. Sampai saat ini, selain Habibie Factor, Habibie memegang 46 hak paten untuk penemuan-penemuan beliau dalam bidang pesawat terbang. Teori-teorinya banyak digunakan dalam industri penerbangan di seluruh penjuru dunia.
Selamat jalan, Bapak Habibie, kebanggaan Indonesia.
Entah perlu berapa generasi lagi bagi bangsa ini untuk bisa melahirkan seorang Insinyur sehebat beliau.
Via: perpusnas.go.id
Saya mengagumi Bapak Habibie bukan hanya karena beliau adalah presiden yang menyelamatkan bangsa dari krisis demokrasi tahun 1998, melainkan karena bagi saya, beliau adalah Insinyur paling hebat yang pernah dilahirkan dalam sejarah Republik Indonesia.
Pernahkah anda mendengar Hukum Newton? Pernah dengar Persamaan Bernoulli? Atau Hukum Archimedes? Pasti anda yang pernah belajar di bangku sekolah, setidaknya tak begitu asing dengan istilah yang ditemukan oleh para ilmuwan dunia diatas. Namun apakah anda pernah mendengar Habibie Factor?
Problematika Penerbangan Dunia
Pernahkah anda memperhatikan sayap pesawat saat sedang mengudara? Sepintas sayap tersebut terlihat padat dan mulus.
Tapi, apakah anda tahu kalau bagian dalam dari struktur rangka sayap pesawat ini berongga-rongga?
Via: Gipsy Moth
Struktur rangka pesawat berada pada bagian dalam yang tertutup rapat. Bagian inilah yang menahan beban tekanan yang sangat besar dan terus-menerus selama penerbangan.
Pernahkah anda perhatikan saat sedang terbang dalam cuaca buruk dan terjadi turbulensi, sayap pesawat ini sampai berayun-ayun?
Dalam ilmu teknik, dikenal istilah fatigue, alias kelelahan material. Fatigue adalah melemahnya kekuatan suatu material yang disebabkan oleh beban terus-menerus yang diterima oleh material tersebut.
Baca juga: Engineering Adalah
Pada kasus rangka pesawat tadi, peristiwa fatigue ini adalah permasalahan yang pelik. Titik yang rawan fatigue pada sebuah pesawat adalah pada sambungan antara sayap dan badan pesawat, atau antara sayap dan dudukan mesin, karena bagian inilah yang mengalami guncangan paling keras terutama saat pesawat lepas landas, turbulensi, atau saat mendarat. Saat fatigue terjadi, ia memicu munculnya crack atau retakan pada material struktur rangka sayap.
Via: code-aster
Crack biasanya bermula pada ukuran 5 mikrometer. Sangat kecil, tapi terus merambat. Semakin hari kian memanjang dan bercabang-cabang pada material. Kalau crack ini tidak terdeteksi, taruhannya mahal. Sayap pesawat bisa patah kapan saja.
Pada tahun 1960-an permasalahan fatigue sangat sulit dideteksi. Belum ada pemindai sensor laser yang didukung teknologi komputer untuk menentukan titik crack. Puluhan tahun masalah ini terus menghantui dunia penerbangan. Bagaimana tidak, mereka tidak pernah tahu apakah sudah ada kerusakan pada struktur pesawat atau tidak. Akibatnya, pada masa itu kecelakaan pesawat cukup sering terjadi.
Dunia Mencari Solusi
Para Insinyur penerbangan terus mencari jalan keluar. Mereka mencoba mengatasi masalah crack ini dengan meningkatkan safety factor.
Bagaimana caranya meningkatkan safety factor?
Via: slideplayer.com
Dalam ilmu teknik, safety factor adalah faktor tambahan dalam suatu hitungan perencanaan dengan tujuan untuk menambah kemanan dari perencanaan tersebut. Nah, cara yang dipakai para Insinyur penerbangan saat itu adalah meningkatkan safety factor ini sehingga bobot konstruksi struktur rangka pesawat menjadi sangat jauh melebihi kebutuhan.
Konsekuensinya, akibat konstruksi struktur bertambah, otomatis membuat pesawat jadi jauh lebih berat. Kalau pesawat lebih berat tentu saja akan lebih lambat, susah bermanuver, dan menjadi lebih banyak mengkonsumsi bahan bakar.
Tentu akan sangat merepotkan.
Pada masa itu para Insinyur penerbangan di seluruh dunia dalam keadaan deadlock, tidak punya solusi. Masalah ini begitu sulit diselesaikan.
Baca juga: Mengapa Mahasiswa Teknik Harus Menonton Film 3 Idiots?
Insinyur Habibie
Pada masa tanpa solusi saat itu, Habibie, seorang Insinyur dari Indonesia, hadir membawa jalan keluar. Di usianya yang saat itu baru menginjak 32 tahun, beliau berhasil menjabarkan sebuah perhitungan yang sangat akurat dan detail untuk mendeteksi letak titik awal crack pada material struktur rangka pesawat.
Dunia terbelalak. Ini adalah penemuan yang besar dalam dunia penerbangan.
Dengan perhitungan dari Habibie, perencanaan struktur rangka sayap pesawat menjadi jauh lebih meyakinkan. Selain itu, berat pesawat dapat berkurang hingga 10% sehingga biaya produksi lebih ekonomis, pesawat lebih mudah bermanuver, hemat bahan bakar, dan menjadi mudah dalam perawatan.
Perhitungan Habibie ini dikenal dengan Crack Propagation Theory dan menjadi lebih populer di dunia penerbangan dengan istilah Habibie Factor. Sampai saat ini, selain Habibie Factor, Habibie memegang 46 hak paten untuk penemuan-penemuan beliau dalam bidang pesawat terbang. Teori-teorinya banyak digunakan dalam industri penerbangan di seluruh penjuru dunia.
Selamat jalan, Bapak Habibie, kebanggaan Indonesia.
Entah perlu berapa generasi lagi bagi bangsa ini untuk bisa melahirkan seorang Insinyur sehebat beliau.