Masih
terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau
ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas,
teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik dari
sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh
tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi. (Soe Hok Gie)
Jadi dari pasar Tumpang ini untuk menuju Ranupani, kita menggunakan mobil Jeep. Mobil Jeep ini akan berangkat jika sudah cukup 12 orang penumpang, itu untuk meringankan biaya sewa. Satu Jeep ke Ranupani sewanya 650 ribu. Jadi jika ada 12 orang pendaki, perorang hanya bayar 55 ribu rupiah. Teman-teman pendaki yang banyak duit dan tak ingin sempit-sempit di Jeep, bisa berangkat meski tak cukup 12 orang. Tapi bayaran tetap sama 650 ribu. Saya dan Kiki yang kere dan senang rame-rame, tentu memilih berangkat dengan teman sebanyak-banyaknya, kalau bisa malah 20 orang biar lebih murah, hehe. Beberapa jeep yang rombongannya sudah cukup, satu persatu mulai tancap gas, menuju Ranupani.
Baca juga: Camping di Padamarari, Selayang Pandang Danau Poso
Sambil menunggu Jeep rombongan kami cukup 12 orang penumpang, kami mengurus surat izin mendaki di loket yang tersedia di pasar Tumpang. Salah satu persyaratan mendapatkan surat izin adalah melampirkan keterangan sehat dari puskesmas atau rumah sakit. Berhubung kami belum menyiapkan surat tersebut, maka kami terlebih dahulu mengurusnya di sebuah puskesmas di belakang pasar Tumpang.
Setelah semua tuntas, kami menyempatkan diri masuk ke pasar untuk melengkapi logistik pendakian. Saya mengecek kembali catatan peralatan dan bahan makanan yang harus kami bawa, dan memastikan semua lengkap. Bagi saya, persiapan sebelum mendaki adalah 70% dari keberhasilan pendakian. Pendaki yang expert saja bisa celaka jika tanpa persiapan yang matang, apalagi saya dan adik yang masih cupu.
Naik Jeep ke Ranupani sangat keren rasanya, ibarat berada di film. Carrier-carrier diikat di badan Jeep, dan kami penumpangnya menggantung disekeliling mobil, berpegang dimana saja. Para pengemudi Jeep ini tampak sekali sangat lihai dan gesit. Dari pasar Tumpang kami meninggalkan kota menuju jalanan pegunungan yang mulai terjal dan sempit, tapi mobil-mobil Jeep ini tetap melaju kencang. Kami berpapasan dengan beberapa mobil Jeep lain dari arah berlawanan dan saling menyapa meski hanya dengan bunyi klakson.
Desa Ranupani berada pada ketinggian 2100 mdpl, menjadikannya salah satu desa tertinggi di Indonesia. Pada suhu-suhu ektrim, Ranupani bisa mencapai suhu -4 derajat celsius. Nama Ranupani sendiri sebenarnya adalah nama sebuah danau yang terletak di desa tersebut. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani dan berkebun.
Kami tiba di Ranupani sekitar pukul 17.00 sore hari, langsung disapa oleh suhu dingin dan kabut khas pegunungan. Suasana desa sangat terasa. Saya dan Kiki mampir di salah satu warung di pinggir danau Ranupani, menikmati kopi sambil bincang-bincang dengan beberapa rekan pendaki yang juga ngopi di warung tersebut. Air danau Ranupani tampak tenang dan teduh dengan pohon-pohon, tapi banyak sampah plastik berceceran di pinggirnya. Terkutuklah orang yang membuang sampah di danau ini, umpatku dalam hati.
Rencananya kami akan memulai pendakian besok pagi menuju Ranukumbolo. Malam ini kami akan menginap di basecamp yang tersedia di Ranupani. Untuk teman-teman pendaki yang masih kekurangan peralatan, atau malas bawa peralatan sendiri dari rumah, di Ranupani juga tersedia beberapa tempat penyewaan alat-alat mendaki, seperti tenda, kompor, senter, dan lainnya.
Baca juga: Mengapa Mahasiswa Teknik Harus Menonton Film 3 Idiots?
Malam harinya di basecamp Ranupani, seperti halnya di basecamp pendakian gunung-gunung yang lain, kami berjumpa dan berkenalan dengan banyak rekan pendaki yang lain, dari berbagai daerah. Sama sekali tidak sulit untuk akrab dengan mereka. Kita berbincang dengan obrolan yang melanglang buana kemana-mana, menyeduh bercangkir-cangkir kopi sambil menyapa para pendaki yang masih berdatangan sampai larut malam.
Malam ini cerah, meski suhu dingin begitu kuat mengepung. Kami tertidur berjejer melantai di pelataran basecamp Ranupani, menyulam mimpi untuk memulai pendakian esok hari, menuju Mahameru, tanah tertinggi Jawa.
Suasana hening di dalam kereta api Majapahit jurusan Pasar Senen – Malang. Hanya bunyi rel kereta berdetak berirama. Malam itu dari Jakarta saya bertolak menuju kota Malang, Jawa Timur. Dalam rangka memanfaatkan jatah cuti kantor, saya hendak memenuhi cita-cita sejak masih kuliah dulu, mendaki gunung Semeru, salah satu gunung yang terkenal dan banyak dikunjungi pendaki di tanah Jawa. Selama 6 tahun kuliah di Makassar dulu, keinginan mendaki gunung ke Jawa bagi saya ibarat pungguk merindukan bulan. Boro-boro beli tiket ke Jawa, buat makan dan bayar kontrakan saja kewalahan. Haha.
Adek laki-lakiku, Kiki, yang kini sudah semester 10 kuliah di Makassar, saya ajak sekalian. Ia juga senang mendaki gunung, ikut-ikutan kakaknya. Beberapa hari lalu ia berangkat dari Makassar dengan membawa serta peralatan mendaki lengkap dan kami berjumpa di Bogor. Kami berdua saja dalam pendakian kali ini.
Di gunung Semeru, tujuan kami ini, bersemayam salah satu tokoh pemuda yang saya kagumi, Soe Hok Gie. Perjalanan hidupnya yang idealis nan romantis, serta kata-katanya yang tajam membuat kisahnya banyak digandrungi anak-anak muda. Sayangnya ia harus mati muda akibat menghirup gas beracun dalam perjalanan mendaki gunung Semeru tahun 1969.
Baca juga: Pendakian Gandang Dewata - Mencari Mayor Latang
Jam 11 siang hari selasa keesokan harinya, kami tiba di stasiun Kota Baru, Malang. Berarti waktu tempuh Jakarta – Malang sekitar 18 jam, karena kemarin kami berangkat dari stasiun Senen, Jakarta, pukul 17.00 sore. Ini pertama kali saya ke Malang, begitu juga Kiki. Dari stasiun Kota Baru ini selanjutnya kami harus menuju terminal Arjosari, untuk mencari angkutan menuju pasar Tumpang. Di pasar Tumpang nanti baru naik Jeep menuju Ranupani, desa terakhir di kaki gunung Semeru.
Kami bergegas keluar dari gerbang stasiun dan mencari angkot menuju terminal Arjosari. Angkotnya warna biru. Saya menjelaskan ke pak supir bahwa kami hendak ke pasar Tumpang. Sekitar 15 menit perjalanan, kami tiba di terminal Arjosari. Oleh pak supir kami diturunkan pas dibelakang angkot berwarna putih jurusan pasar Tumpang, tujuan kami selanjutnya. Saya dan Kiki langsung masuk dan duduk kalem berjejer di kursi belakang. Arjosari ke pasar Tumpang lumayan jauh juga, kira-kira sejam lebih di dalam angkot.
Sesampainya di pasar Tumpang, kami turun dan langsung disambut senyum-senyum bersahabat khas pendaki dari rekan-rekan pendaki yang sedang nongkrong di pasar Tumpang ini.
Baca juga: Pendakian Gandang Dewata - Mencari Mayor Latang
Jam 11 siang hari selasa keesokan harinya, kami tiba di stasiun Kota Baru, Malang. Berarti waktu tempuh Jakarta – Malang sekitar 18 jam, karena kemarin kami berangkat dari stasiun Senen, Jakarta, pukul 17.00 sore. Ini pertama kali saya ke Malang, begitu juga Kiki. Dari stasiun Kota Baru ini selanjutnya kami harus menuju terminal Arjosari, untuk mencari angkutan menuju pasar Tumpang. Di pasar Tumpang nanti baru naik Jeep menuju Ranupani, desa terakhir di kaki gunung Semeru.
Kami bergegas keluar dari gerbang stasiun dan mencari angkot menuju terminal Arjosari. Angkotnya warna biru. Saya menjelaskan ke pak supir bahwa kami hendak ke pasar Tumpang. Sekitar 15 menit perjalanan, kami tiba di terminal Arjosari. Oleh pak supir kami diturunkan pas dibelakang angkot berwarna putih jurusan pasar Tumpang, tujuan kami selanjutnya. Saya dan Kiki langsung masuk dan duduk kalem berjejer di kursi belakang. Arjosari ke pasar Tumpang lumayan jauh juga, kira-kira sejam lebih di dalam angkot.
Sesampainya di pasar Tumpang, kami turun dan langsung disambut senyum-senyum bersahabat khas pendaki dari rekan-rekan pendaki yang sedang nongkrong di pasar Tumpang ini.
Dari sabang sampai merauke, dimanapun menemukan kumpulan anak-anak muda berpenampilan seadanya dengan carrier-carrier besar, jangan ragu untuk berkenalan, sok akrab, membaur, lalu ikut nimbrung. Dijamin akan serasa berjumpa kawan lama yang sudah puluhan tahun tak jumpa. Dalam hitungan menit saja kami sudah ikut minum kopi dari termos milik entah siapa di kumpulan anak muda di depan pasar Tumpang. Mereka beragam asalnya, kebanyakan pendaki dari Jawa. Mungkin saat itu hanya kami berdua, saya dan Kiki yang dari Makassar. Dari sini tujuan kami semua sama, menuju Ranupani.
Jadi dari pasar Tumpang ini untuk menuju Ranupani, kita menggunakan mobil Jeep. Mobil Jeep ini akan berangkat jika sudah cukup 12 orang penumpang, itu untuk meringankan biaya sewa. Satu Jeep ke Ranupani sewanya 650 ribu. Jadi jika ada 12 orang pendaki, perorang hanya bayar 55 ribu rupiah. Teman-teman pendaki yang banyak duit dan tak ingin sempit-sempit di Jeep, bisa berangkat meski tak cukup 12 orang. Tapi bayaran tetap sama 650 ribu. Saya dan Kiki yang kere dan senang rame-rame, tentu memilih berangkat dengan teman sebanyak-banyaknya, kalau bisa malah 20 orang biar lebih murah, hehe. Beberapa jeep yang rombongannya sudah cukup, satu persatu mulai tancap gas, menuju Ranupani.
Baca juga: Camping di Padamarari, Selayang Pandang Danau Poso
Sambil menunggu Jeep rombongan kami cukup 12 orang penumpang, kami mengurus surat izin mendaki di loket yang tersedia di pasar Tumpang. Salah satu persyaratan mendapatkan surat izin adalah melampirkan keterangan sehat dari puskesmas atau rumah sakit. Berhubung kami belum menyiapkan surat tersebut, maka kami terlebih dahulu mengurusnya di sebuah puskesmas di belakang pasar Tumpang.
Setelah semua tuntas, kami menyempatkan diri masuk ke pasar untuk melengkapi logistik pendakian. Saya mengecek kembali catatan peralatan dan bahan makanan yang harus kami bawa, dan memastikan semua lengkap. Bagi saya, persiapan sebelum mendaki adalah 70% dari keberhasilan pendakian. Pendaki yang expert saja bisa celaka jika tanpa persiapan yang matang, apalagi saya dan adik yang masih cupu.
Naik Jeep ke Ranupani sangat keren rasanya, ibarat berada di film. Carrier-carrier diikat di badan Jeep, dan kami penumpangnya menggantung disekeliling mobil, berpegang dimana saja. Para pengemudi Jeep ini tampak sekali sangat lihai dan gesit. Dari pasar Tumpang kami meninggalkan kota menuju jalanan pegunungan yang mulai terjal dan sempit, tapi mobil-mobil Jeep ini tetap melaju kencang. Kami berpapasan dengan beberapa mobil Jeep lain dari arah berlawanan dan saling menyapa meski hanya dengan bunyi klakson.
Desa Ranupani berada pada ketinggian 2100 mdpl, menjadikannya salah satu desa tertinggi di Indonesia. Pada suhu-suhu ektrim, Ranupani bisa mencapai suhu -4 derajat celsius. Nama Ranupani sendiri sebenarnya adalah nama sebuah danau yang terletak di desa tersebut. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani dan berkebun.
Source: agentwisatabromo.com
Kami tiba di Ranupani sekitar pukul 17.00 sore hari, langsung disapa oleh suhu dingin dan kabut khas pegunungan. Suasana desa sangat terasa. Saya dan Kiki mampir di salah satu warung di pinggir danau Ranupani, menikmati kopi sambil bincang-bincang dengan beberapa rekan pendaki yang juga ngopi di warung tersebut. Air danau Ranupani tampak tenang dan teduh dengan pohon-pohon, tapi banyak sampah plastik berceceran di pinggirnya. Terkutuklah orang yang membuang sampah di danau ini, umpatku dalam hati.
Source: nge-baca.blogspot.com
Rencananya kami akan memulai pendakian besok pagi menuju Ranukumbolo. Malam ini kami akan menginap di basecamp yang tersedia di Ranupani. Untuk teman-teman pendaki yang masih kekurangan peralatan, atau malas bawa peralatan sendiri dari rumah, di Ranupani juga tersedia beberapa tempat penyewaan alat-alat mendaki, seperti tenda, kompor, senter, dan lainnya.
Baca juga: Mengapa Mahasiswa Teknik Harus Menonton Film 3 Idiots?
Malam harinya di basecamp Ranupani, seperti halnya di basecamp pendakian gunung-gunung yang lain, kami berjumpa dan berkenalan dengan banyak rekan pendaki yang lain, dari berbagai daerah. Sama sekali tidak sulit untuk akrab dengan mereka. Kita berbincang dengan obrolan yang melanglang buana kemana-mana, menyeduh bercangkir-cangkir kopi sambil menyapa para pendaki yang masih berdatangan sampai larut malam.
Malam ini cerah, meski suhu dingin begitu kuat mengepung. Kami tertidur berjejer melantai di pelataran basecamp Ranupani, menyulam mimpi untuk memulai pendakian esok hari, menuju Mahameru, tanah tertinggi Jawa.