Gandang Dewata, Mencari Mayor Latang - Fachrul Hidayat
News Update
Loading...

Saturday, 21 February 2015

Gandang Dewata, Mencari Mayor Latang

Tak akan kuhalangi walau ku tak ingin kau pergi.
Kan kubangun rumah ini, walau tanpa dirimu.

Suara khas romantis ala Sheila On 7 malam ini mendampingi lamunanku didalam minibus jurusan Makassar-Mamasa. Tahu saja ini om supir musik favoritku. Band asal kota gudeg Jogjakarta itu memang sudah mengisi sepetak kamar di hatiku dalam hal selera musik, jauh sejak masih jaman SMP tahun 2002 silam. Kalian mungkin tak percaya, saya sudah menabung dan membeli kaset DVD asli album '07 Des' yang booming saat itu, dan baru bisa punya alat pemutarnya 5 tahun kemudian, saat sudah kuliah. Sampai berkarat kasetnya di laci.

Saya dan 8 orang kawan malam ini dalam perjalanan menuju Mamasa, daerah di kaki gunung Gandang Dewata. Terencana selama 8 hari kedepan, kami akan berjalan-jalan di gunung tertinggi provinsi Sulawesi Barat tersebut. Tentang kawanku, tak usah saya presentasikan satu-satu. Yang pasti mereka bukan orang baru di bagian mendaki-mendaki. Toh, tiap hari mereka mendaki menuju cita-cita masing-masing.


Gandang Dewata, menurut google dan diperkuat dengan kisah-kisah orang, adalah bukti mati kuatnya sejarah, mitos, dan kepercayaan mistis penduduk disekitarnya. Beberapa pendaki katanya mengalami nasib naas, hilang di gunung ini. Jika kalian mencari-cari data pendaki hilang di gunung ini, kalian akan akrab dengan nama Mayor Latang, seorang anggota TNI yang kabarnya hilang disana pada tahun 2007 dan belum ditemukan hingga sekarang. Tapi tulisan ini tak sesuai judulnya. Ini sudah 5 tahun berlalu, kami sama sekali tak bermaksud mencari beliau. Cukuplah mengagumi beliau dengan keberaniannya mendaki. Gunung inipun ceritanya dihuni 'tau-tau bannik'. Ini bahasa Mamasa, artinya makhluk kerdil yang hidup berkelompok di hutan. Perkampungannya kadang tampak oleh warga yang berburu di hutan, kadang tidak. Yah, ceritanya silahkan kalian telusuri sendiri dan bikin pendapat masing-masing, asal tak mengubah akal sehat saja. 

Baca juga: Hydraulic Ram Pump, Solusi Masalah Air Pegunungan

13 jam berlalu, minibus yang mengangkut kami melambat. Saya terbangun dari tidur ketika om supir tampak bercakap dengan seorang pengendara motor lewat jendelanya. Meskipun dengan bahasa Mamasa, saya mengerti kalau dia sedang tanya alamat. Kami memang sudah memberi tahu untuk diantar sampai di rumah bapak daud, seorang di Mamasa yang kabarnya menjadi tempat mampir para pendaki. Tentulah kami pun tak tau alamatnya. Kawan-kawanku masih tidur dan saya bangunkan ketika beberapa saat kemudian kami tiba tepian petak sawah. Sebuah rumah panggung kayu sederhana tak jauh terlihat. Seharusnya itulah rumah bapak daud. Saat itu sekitar pukul 03.00 dinihari. Penghuni rumah tampak lelap dalam istirahat, tentu tak kami ganggu. Kami bergegas turun, mengangkat carrier-carrier dari jok belakang dan berjalan menuju rumah. Kami mengatur bawaan kami dibawah rumah, lalu naik ke teras untuk beristirahat. Besok pagi ketika tuan rumah bangun dan mendapati kami terhampar diterasnya, saya yakin dia tak heran. Sebelum tidur, saya dan seorang kawan masih sempat menyeduh segelas kopi.


 
Hari ini selasa. Pagi kemarin saya masih berdiri didepan kantor jurusan Fakultas memandangi jadwal ujian tengah semester yang tepat dimulai hari ini, dan pagi ini saya sudah bangun tidur 330 km dari kampus. Sejenak teringat cita-cita menjadi seorang insinyur.

"Kopi bang", seorang kawan membuyarkan cita-cita tadi.
Lalu kami menggilir beberapa gelas kopi di teras rumah bapak daud.

Desa Tondok Bakaru, dusun Rantepongkok, berada tak jauh dari kota mamasa, adalah daerah terakhir untuk mendaki gunung gandang dewata. Itu jika ingin nanjak lewat jalur mamasa. Gunung ini juga bisa ditempuh dari arah lain, misalnya dari kalumpang, mamuju. Namun jalur mamasa adalah yang paling umum dilalui pendaki. Warga daerah ini umumnya bertani, beternak kerbau. Rata-rata beragama Kristen dan bahasa sehari-hari adalah bahasa Mamasa. Keramahan khas desa sangat terasa. Rencananya kami akan memulai pendakian besok pagi. Jadi hari ini bisa jalan-jalan ke pasar kota Mamasa sembari melengkapi ransum (logistik) yang dianggap kurang. 

Ternyata bapak Daud tak ada di rumah, beliau sedang keluar pulau, kata anaknya. Menghadiri hajatan seorang kerabat. Jadi kami yang niatnya bisa berbincang-bincang seputar gandang dewata dengan beliau, menganga. Panggilan bapak Daud diberikan karena anak pertamanya bernama Daud. Begitulah kebiasaan didaerah itu. Nanti anak saya akan saya beri nama 'rimba". Saya akan dipanggil 'bapak rimba'. Terasa aneh.

Dua orang kawan sudah ke pasar sejak tadi. Saya dan yang lain mengobrol macam-macam di teras rumah, menikmati suasana khas desa meskipun itu tak asing bagiku yang mungkin belajar berjalan pertama kali di pematang sawah desaku. Angin-anginya tak mampu dihasilkan kipas angin merek apapun. Siang-siang seorang bapak setengah baya menghampiri kami. Dipanggil bapak Rendi. Harusnya anak pertamanya namanya Rendi. Kami mengobrol seputar apa saja, lebih banyak tentang gunung gandang dewata. Bapak rendi tampak paham betul medan gunung ini karena memang sudah beberapa kali mencoba jalurnya, untuk mengantar beberapa pendaki ataupun sekedar mencari kayu bakar. Ia bahkan bersedia mengantar kami besok, sampai di pos I. Karena katanya dari kampung ke pos I banyak percabangan jalan yang sulit ditandai. Saking ramahnya, kami diajak menginap dirumahnya malam ini, biar lebih puas ngobrol katanya, karena bapak daud tidak ada dirumah. Dipaksa malah. Kami tak kuasa menolak. Segera berkemas dan mengangkat carrier masing-masing, berjalan kaki ke rumah bapak rendi. Jaraknya sekitar 1-2 km, melalui jalan tak diaspal. Hari pertama dan saya sudah lelah.Malam itu kami menghabiskan malam dengan mempelajari kisah-kisah gunung Gandang Dewata dari bapak Rendi.

Baca juga: Pendakian Gunung Semeru - Malang & Ranupani

Kesesokan harinya, berdoa sesuai agama masing-masing dan tos kecil-kecil untuk membakar semangat adalah ritual kecil untuk menandai kami meninggalkan dusun rantepongkok. Saya cek ada pada ketinggian 1315 mdpl. Berdasarkan rencana, target hari ini adalah mencapai sumber air antara pos I dan II lalu camp (membangun tenda dan beristirahat) disana. Go !

Bapak rendi sudah berjalan didepan, hanya ditemani sebilah parang dengan sarungnya. Kami berjejer dibelakangnya dengan bawaan masing-masing. Saya paling terakhir. Mulanya melalui pematang-pematang sawah, lalu masuk ke kebuk kopi dan mulai menanjak sedikit-sedikit. Benar kata pak rendi, percabangan jalan cukup banyak. Jalan-jalan petani yang tentu masalah besar bagi orang baru jika salah memilih langkah. Keluar masuk perkebunan lalu berjalan disisi sungai besar. Langkah demi langkah mengayun, dan pos pertama di depan. 

Pos I 
Oleh warga setempat, daerah pos  I ini dikenal dengan sebutan toliasa yang artinya kayu liasa, jenis pohon yang banyak tumbuh disitu. Itu dengar dari bapak rendi tadi malam. Keringat meluncur tajam, langsung kami isi ulang dengan air sungai jernih tanpa dimasak. Sejuk benar. Berada tidak jauh dari pinggiran sungai besar, pos 1 berada pada koordinat 2°52’58,5” LS dan 119°23’11,2” BT dengan ketinggian terbaca 1584 mdpl. Kami membutuhkan waktu ± 2 jam 9 menit dengan jarak tempuh sekitar 2,5 km diukur dengan perkiraan langkah kaki. Hanya mempir beberapa saat dan pak rendi sudah jalan lagi. Kami ikut. Dari pos satu kami berjumpa dengan jalur trekking yang panjang. Sangat miring, beberapa kali kami butuh berpegangan di pohon agar tak terpeleset. Pak rendi menawarkan mau menebang pohon kecil untuk kami jadikan tongkat, tapi kami kompak menolak. Kata orang, pendaki yang baik tidak mengambil apapun di hutan kecuali tongkat. Hehh?

Menoleh keatas, tanjakan macam tak ada ujungnya. Kemudian pak rendi yang berjalan didepan berhenti dan menunggu kami di sebuah tempat yang agak rata.

"Sampai disini saja saya bisa antar di", Ia bicara pada kami.
"Disana ada mata air, inimi air terakhir, dipos III pi lagi baru ada air".

Kami mengerti, sumber air selanjutnya ada di sungai di pos III. Ditempat inilah rencananya malam ini kami camp. Tapi jam baru menunjukkan pukul 11 lewat setengah jam. Kami berdiskusi dan memutuskan untuk lanjut saja. Barangkali jika kecepatan jalan kami konstan, kami bisa mencapai pos III hari ini. Bapak rendi juga sependapat. Tim kami cukup cepat katanya. Kami sigap bangkit, mengisi semua botol air di lembah yang jaraknya sekitar 30 meter dari tempat itu. Bapak rendi pamit, dan berjalan turun kembali menuju desa. Tak lupa ia mengulangi meyakinkan kami. Jika dalam 5 hari kami belum kembali ke desa atau memberi kabar lewat telepon padanya, ia akan menyusul kami. Di antara pos II dan pos III katanya ada tempat yang bisa menangkap sinyal handphone. Disitulah kami harus menelponnya 5 hari lagi, atau dia akan menyusul. Kami bergerak, melanjutkan tanjakan, melalui vegetasi mirip bambu kecil, lalu mulai berlumut. Sekitar 2 jam 30 menit dari pos I, pos II kami dapati didepan. 

Pos II 
Lantabumbun, itu nama yang dikenal warga untuk pos ini yang artinya lubang penampungan air dan pondoknya. Tapi saya tak menemu lubang apapun di pos ini. Dengan ketinggian 2097 mdpl, pos ini tepat berada pada koordinat 2°52’26” LS dan 119°23’01” BT. Suhu mulai dingin. Sejenak kami berfoto ria dengan latar belakang kota Mamasa di pos ini. Membuka dan menikmati beberapa cemilan, lalu melanjutkan perjalanan. Memang rencana makan siang hari ini dipindah ke makan malam saja. Demi mengejar waktu agar tidak kemalaman sampai di pos III. Jalur agak datar, melalui sebuah gubuk pemburu yang sudah roboh di sebelah kiri jalur. Rasa lelah mulai menyerbu. Bergantian kami meminta istirahat, dan otomatis memperlambat perjalanan kami. Hari beranjak petang, dan pos III yang dinanti tak kunjung menghampiri. Kabarnya, pos itu berada di dekat sungai. Jika sudah dekat tentu gemercik airnya akan terdengar. Saya hanya mendengar gemercik perut meminta makan.

Sekitar pukul 5 dan bunyi sungai pun belum terdengar. Kami sampai di sebuah bukit yang ada tempat agak rata dan memutuskan camp disitu malam ini. Tak ada sumber air. 

Dengan cekatan masing-masing kami bekerja, ada yang membangun tenda, memasak dengan sisa air di botol, memasang ponco untuk mendah air, yang lain menyiapkan perapian. Menyambut gelap kami sudah duduk santai bercengkrama di depan tenda. Sayang apinya sulit menyala. Kayu-kayu lembab.

Ini bukan pendakian pertamaku. Dari setiap pendakian, hari pertama selalu paling melelahkan. Apalagi kalau kurang persiapan fisik. Bangun pagi di hari kedua akan merasakan badan yang rasanya tak mau diajak jalan lagi. Inilah tantangannya.

Sekitar pukul 8 keesokan harinya kami sudah dalam perjalanan meninggalkan lokasi camp pertama. Oh ya, saya dapati ada papan bertuliskan 'pos III" di pasang disana tadi oleh salah satu KPA. Tapi pos III yang kami rencanakan dan yang juga dikenal bapak rendi bukan itu. Dari lokasi camp menurun lalu menanjak panjang dan sampai di puncak yang dikenal dengan nama paparandanan. Bahasa mamasa lagi yang artinya pemandangan. Sesuai namanya puncak ini terbuka, dan pemandangan pasti bagus jika saat itu tidak tertutup kabut. Disinilah terdapat sinyal handphone untuk operator tertentu. Kami mengontak pak rendi. 

Pos III

Setelah melalui punggungan, lalu penurunan tajam yang panjang, dan kami berjumpa vegetasi lumut yang padat. Ada sungai ukuran lebar sekitar 2-3 meter, lalu ada tempat rata yang kira-kira cukup untuk 5-10 tenda sekitar 15 meter dari sungai. Itu rano yang artinya rawa – rawa. Nama untuk pos III dari warga. Dari namanya saja kita bisa membanyangkan kondisi pos III. Begitu lembab dan dingin, pos ini berada pada koordinat 2°50’44” LS dan 119°23’01” BT dengan ketinggian 2097 mdpl. Disinilah seharusnya tadi malam kami menginap jika lebih gesit. Tak apa. Kami mempersiapkan lalu menyantap makan siang dan segera berlalu. Target di hari ke 2 ini adalah sampai di pos V. Dari pos III kami melewati jalur treking yang panjang lalu menyusuri punggungan. Memasuki vegetasi lumut di penurunan dan kami pun tiba di pos IV. Waktu tempuh dari pos III sekitar 2 jam saja. 



Pos IV
Pos ini berada pada koordinat 2°49’55.6” LS dan 119°23’35,5” BT dengan ketinggian 2537 mdpl. Jalur dari pos III ke Pos IV berpotensi tersesat karena jalur yang sudah tidak jelas karena longsoran dan banyaknya pohon tumbang. Sangat disarankan memasang stringline untuk memudahkan menandai jalur. Tak berlama-lama, kami bahkan tak sempat duduk di pos ini. Lanjut jalan lagi. Jalur agak landai dan tak terlalu menguras tenaga lalu berjumpa dengan penurunan yang cukup terjal, dibawahnya ada sungai. Persis disebelah pertemuan dua sungai itu pos V anggun menanti kami. 

Pos V
Pos V berada ada ketinggian 2135 mdpl. Tempat ini merupakan pertemuan dua sungai dan merupakan pilihan tempat camp bagi para pendaki, selain sumber air yang melimpah juga lumayan luasnya, sekitar 5x5 meter. Terbaca berada pada koordinat 2°49’4,8” LS dan 119°22’55” BT. Kami beristirahat sekejap saja lalu masing-masing segera tahu diri, bergerak menyiapkan penginapan bintang banyak untuk kami huni malam ini. Tentu saja sambil mengobrol penuh keakraban. 

Pos VI
Pagi-pagi kami bangun, suara burung-burung khas belantara sangat cukup mengobati kerinduan pada kerabat dan kawan-kawan di kota. Matahari sedikit saja sinarnya yang sanggup menumbus lebatnya vegetasi disekitar pos V ini. Kami bergegas, packing lagi, ada yang masak, ada juga yang sempat mandi-mandi di sungai disamping camp. Saya tentulah tak mandi. Beberapa saat kemudian, setelah sarapan kami melanjutkan langkah. Target hari ini adalah mencapai pos VII. Medan selanjutnya rata menyisir pinggiran sungai. Ini yang unik. Menuju pos VI kami harus menyebrangi sungai sebanyak enam kali. Sungai-sungai ini jika musim hujan sering meluap menurut bapak rendi. Menguji kekompakan, kami bergantian menggendong teman yang tak rela sepatunya basah menyeberangi sungai. Selepas sungai ke 6, jalur dengan tracking berat menyapa. Sampai diujung atas, lalu kembali melalui punggungan yang panjang. Pos VI berada disebuat tempat datar punggungan ini, tepat pada koordinat 2°47’49,5” LS dan 119°22’30” BT dengan ketinggian 2562 mdpl. Lokasinya cukup untuk mendirikan tenda, namun disini tidak ada memiliki sumber air.


Pemandangan yang cukup terbuka nan sejuk menggoda kawan-kawan untuk meramu makan siang atau minimal mengaduk kopi sebelum lanjut. Saya masih pikir-pikir mau usulkan kita langsung jalan saja, lah seperangkat alat masak portable sudah mengepul dibelakangku. Ya sudah.

Pos VII 
Perjalanan selanjutnya lebih banyak menurun, tentu dengan vegetasi yang makin rapat. Kurang dari 3 jam berjalan dari pos VI kami dapati pos VII. Ini pos VII yang pertama, masih ada pos VII lain dibawah. Tanah datar sekitar 6x6 meter tapi pohon tumbang besar persis ditengahnya. Terbaca berada pada 2°46’59” LS dan 119°22’30” BT, ketinggian 2124 mdpl. Kami bahkan tak mampir, lanjut menuju pos VII yang menurut bapak rendi baru dibuat oleh beberapa KPA. Berada dekat sungai dan ada air terjun tak jauh dari situ. Kami mencapai pos VII ini melalui penurunan yang sangat miring. Beberapa kawan terpeleset, terguling2, lalu pingsan seperti di film 5 km. Hehh?

Tentu tidak lah, tapi memang sangat miring. Kalau ingin cepat sampai dibawah, lempar saja carrier nya lalu ikut berguling2 dibelakangnya. Persis di akhir penurunan itulah pos VII yang ke 2. Kami sampai dibawah diiringi hujan deras. Disitu ada sekelompok pendaki juga, yang telah pulang dari puncak. Kami memasang tenda, memasak dan menyantap makanan, lalu langsung beristirahat, berhubung cuaca malam itu sangat tidak bersahabat.

Ini adalah lokasi camp favorit para pendaki dengan pertimbangan perjalanan ke puncak. Perjalanan ke puncak dan kembali lagi ke pos ini persis ditempuh satu hari. lagi-lagi ni adalah lokasi camp terakhir yang dekat dengan sumber air, berhubung pos selanjutnya, VIII, IX dan X (puncak), tak ada sumber air. Karena seringnya pendaki camp di tempat itu, maka beberapa memvonisnya sebagai pos VII.

Keesokan harinya, masih subuh kami sudah bangun, menyiapkan sarapan dan memilih barang-barang yang akan dibawa ke puncak. Cukup makanan kecil, parang, minuman dan barang pribadi masing-masing. Barang yang lain ditinggalkan saja bersama tenda yang berdiri kokoh. Ditemani gerimis, sekitar pukul 7 lewat kami berangkat, setelah salam-salam pamit ala pendaki ke teman KPA yang sedang packing untuk persiapan mereka pulang ke desa. Pertama langsung menyeberangi sungai dan treking langsung menyambut.

Pos VIII
Kami dapati tanah datar yang mampu memuat tiga tenda dan papan bertuliskan pos 8 pada pohon besar pada koordinat 2°46’12” LS dan 119°21’44” BT. Vegetasi berupa rotan yang tentu tak lengkap tanpa duri-durinya menghiasi sepanjang jalur menuju pos ini. Begitupun selepas pos ini. Hampir tak ada bonus (jalan agak datar), full tracking.

Pos IX
Tak banyak yang bisa diceritakan sepanjang jalan menuju puncak ini. Kami masing-masing diam-diam saja, sambil sesekali mengambil gambar. Pos selanjutnya pos IX terpantau pada ketinggian 2516 mdpl. Suhu mulai menggigilkan jari-jari, kabut yang cukup tebal dan hujan tak reda-reda mendukungnya. Medan sepanjang jalur ini cukup tertutup oleh pohon pohon yang tinggi. Hanya beberapa berkas cahaya yang menembus rimbunnya pepohonan. Pos ini berada pada koordinat 2°45’23” LS dan 119°22’03 BT.

Perjalanan berlanjut, puncak yang dinanti tak kunjung bersua. Yang unik, beberapa puncak palsu kami temua. Diujung tanjakan, terang seolah-olah itulah puncak, namun bukan. Beberapa kali begitu. Kami berjalan beriringan, tak menyisakan jarak terlalu jauh dengan yang lain, sesuai arahan bapak rendi. Dan puncak, akhirnya berjumpa juga.

Pos X ( Puncak)
GPS membaca ketinggian 3037 mdpl, pada 2°44’53,4” LS dan 119°22’6,4” BT.
Kami berada di puncak gunung gandang dewata, tanah tertinggi ke 2 seantero daratan pulau sulawesi. Triangulasi setinggi kurang lebih setengah meter dan disisi-sisinya terdapat tumpukan batu yang dikelilingi pohon pohon perdu dan papan bertuliskan pos X menjadi penandanya. Daerahnya  datar dan luasnya sekitar 3x4 meter. Lautan kabut gelap mengelilingi, tentu tak ada pemandangan bagus seperti biasanya. Kami yang awalnya menggigil kedinginan sepanjang jalan, harus bersusah payah pasang muka segar buat berfoto. Tak terlalu banyak orang yang diberi kesempatan melihat karunia-Nya dari tempat ini. 


Setelah mampu meyakinkan diri sendiri bahwa kami benar-benar berada di puncak Gandang Dewata, kami sepakat turun. Tak ingin disapa sang malam melalui jalur turun yang terkenal ampuh membuat pendaki salah arah. Kami bergerak, beriringan menuju pos VII yang dekat dengan sungai, tempat barang-barang menanti. Persis memasuki waktu magrib, kami sampai di tenda kembali. Bersih-bersih masih ditemani hujan gerimis, makan lalu istirahat. Besok kami akan memulai perjalanan kembali ke dusun rantepongkok.

Baca juga: Gunung Kambuno Lantagunta - Rute dan Jalur Pendakian

Benar kata slogan yang biasa diucap kawan-kawan pendaki. Tujuan akhir sebuah pendakian adalah kembali ke rumah, puncak gunung hanyalah bonus. Perjalanan turun tak perlu detail saya ceritakan. Penuh semangat. Sesekali kami berlari-lari menapaki naik turun jalur. Dari pos VII sungai tadi, selanjutnya kami camp di pos V, lalu malam selanjutnya kami sudah tidur di rumah bapak rendi, di dusun Rantepongkok. Perjalanan turun hanya 2 hari. Kami masih sempat mengisi waktu berjalan-jalan di kota Mamasa, mandi di kolam air panas favorit warga Mamasa, sebelum kembali ke Makassar. Disana kawan kami yang lain menunggu. Saya tak sabar menceritakan perjalanan kami ini pada mereka. Kawan-kawan di Makassar adalah rumah bagi kami.


Bagi kalian yang ingin mengunjungi gunung Gandang Dewata, saya sarankan untuk benar-benar mempersiapkan diri, baik fisik, mental dan tentu peralatan. Setiap wilayah tentu mempunyai sejarah dan kisah yang beragam, beberapa bisa membangkitkan bulu kuduk. Tapi menjadikan itu penghalang untuk dikunjungi tentu tak baik. Saya yakin juga tak baik disisi Tuhan yang Esa.

Ditulis kembali, di Cibubur, Bogor, Jawa Barat, dengan beberapa plesetan.
Saya kini sangat jauh dari kawan-kawanku yang kurindukan.

Bagikan ke teman-teman anda

13 comments

  1. Keren om,total brapa hari ya,dr makasar dilapangan dan perjalanan ke
    desa pak daud?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari makassar ke rmh bapak daud cuma 12 jam om, via mobil. Dr bapak daud ke puncak bs 4 hari, turunnya 2 hari.
      Tks sdh mampir om.

      Delete
  2. salam lestari, Berapa kemiringan rata2 pos per pos???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam bang. Kalau medan per pos rata2 kemiringan lumayan terjal. Paling terjal dr pos 7 ke puncak. Kalau ingin data detail bs mampir ke posko SAR Unhas Makassar. Tks sdh mampir.

      Delete
    2. This comment has been removed by a blog administrator.

      Delete
  3. Salam kenal bang. Boleh minta nomer hp Pak Rendi atau Pak Daud? Trims sblmnya.

    ReplyDelete
  4. Detail sekali tulisannya, sangat membantu. Tks, salam lestari!

    ReplyDelete
  5. Salut atas pendakian mas...masih sering mendaki ??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekarang sdh jarang mas. Sdh sibuk kerja hehe. Tks sdh membaca ya !

      Delete

Notification
Apa isi Blog ini? Catatan perjalanan, opini, dan esai ringan seputar Engineering.
Done